SEJARAH AWAL MASUKNYA KONGREGASI S.Sp.S.
DI PULAU TIMOR KEUSKUPAN ATAMBUA-KUPANG
Santo Arnoldus Janssen, Bapa Pendiri ketiga Kongregasi besar yakni SVD, S.Sp.S, SSpS-AP, sudah mempunyai sebuah pandangan yang luas jauh kedepan tentang karya-karya misi di seluruh dunia, di pelosok manapun namun yang menjadi prioritas penting adalah kehidupan rohani setiap anggotanya dan kerjasama yang baik antara SVD dan S.Sp.S sebagai saudara dan saudari, demi mengemban dan menyebarluaskan Kabar Gembira, kabar Keselamatan bagi seluruh umat manusia di seantero bumi ini, sampai ke pelosok-pelosok yang tak terjangkau oleh siapapun.Oleh karena itu setelah para misionaris Serikat Jesus(SJ) melayani selama dua puluh tiga tahun di wilayah misi Timor, khususnya di Atapupu, Lahurus dan daerah sekitarnya, maka tanggal 01 Maret 1913 bertempat di Lahurus, secara resmi wilayah pelayanan SJ diserahkan kepada para misionaris SVD.Penyerahan wilayah misi Timor dilakukan oleh Serikat SJ yang dwakili oleh P. Johanes Mathijsen, SJ, dan SVD diwakili oleh P. Petrus Noyen, SVD. Setelah penyerahan ini, P. Petrus Noyen, SVD, mulai berusaha menata system pastoral dengan menerapkan tujuh strategi yang sudah dirintis oleh para misionaris SJ yakni perkenalan dan persahabatan dengan raja-raja Belu sebagai pintu masuk penyebaran agama Katolik, belajar Tetun dan Melayu, membangun gedung gereja dan sekolah, memetakan wilayah misi, mengenal nama-nama kerajaan di Belu dan mengadakan kunjungan ke pusat-pusat kerajaan Belu.
Selain menggunakan tujuh strategi ini, karya-karya lain yang dilakukan di Lahurus adalah membereskan keadaan internal rumah pastoran, berkenalan dengan umat setempat, mengadakan orientasi misi, belajar bahasa Tetun dan budaya Belu, perkenalan dan kunjungan ke kediaman Kontrolir(penguasa wilayah Hindia Belanda), perkenalan dan kunjungan ke pusat-pusat kerajaan di Belu dan perawatan gedung sekolah dan melanjutkan karya di bidang pendidikan. Ternyata P. Petrus Noyen, SVD bersama P.Verstraelen, SVD dan Bruder Lusianus Molken, SVD meletakkan dasar yang kokoh karena pendekatan missioner dan pastoralnya berformat antropologis dan kultural. Dengan ini, Pater Petrus Noyen,SVD, berhasil menciptakan”rasa memiliki” masyarakat Timor terhadap iman Katolik yang diwartakan olehnya. Iman Katolik lalu berkembang dengan pesat didukung dengan piranti-piranti pastoral yang efektif yaitu sekolah, katekese umat, pembangunan infrastruktur dan pertukangan yang mendukung ketrampilan pemuda-pemuda kampung. Pater Petrus Noyen, SVD juga konsen dengan pengembangan ketrampilan kaum wanita. Karena itu, ia mengirim surat permohonan ke Steyl tertanggal 5 Juli 1913 untuk meminta para suster S.Sp.S ke Lahurus. Para suster akan secara khusus menangani kursus ketrampilan menjahit dan memasak bagi putri-putri pribumi. Permohonan itu baru kemudian dikabulkan oleh ibu agung di Steyl pada tahun 1921. Pada tanggal 21 Mei 1921 para suster S.Sp.S berkarya di Lahurus yang kemudian berkembang menjadi beberapa komunitas di seluruh Timor.
- Pengalaman Misionaris Perdana tiba di Timor (Lahurus Thn 1921)
Pada tanggal 21 Mei 1921, tibalah 4 suster S.Sp.S pertama yakni Sr. Gonzagina Van Lunssen, S.Sp.S, Sr. Jolenta Miltenburg,S.Sp.S, Sr. Blanda Dorr, S.Sp.S dan Sr. Antonie de Leeuw, S.Sp.S Misionaris pertama kita, di pelabuhan Atapupu. Mereka berangkat dari Flores Lela, karena Timor masih bergabung dengan Flores.Ketika menginjakkan kaki di pelabuhan, masyarakat Atapupu terpesona oleh kecantikan keempat wanita yang datang ke tanah air.Kepala wanita-wanita ini bertudung, dengan pakaian biru panjang hingga mata kaki, tali putih digantung pada pinggang.Hanya senyum dan keramahan yang tampak dari wajah mereka karena belum bisa berbahasa Indonesia.
Di Atapupu para suster disambut oleh Pater Yoseph Schmitz, SVD juga seorang Pastor misionaris bersama umat Atapupu. Acara penyambutan dan ucapan syukur dirangkai dalam perayaan Ekaristi, dipimpin oleh P. Yoseph.Banyak umat hadir dalam perayaan Ekaristi.Mereka berdesak-desakan untuk menyaksikan dari dekat wajah-wajah cantik para suster.Kegembiraan dan antusias masyarakat Atapupu dikatakan sangat tinggi, karena baru pertama kali melihat wanita yang berpenampilan anggun dan cantik. Situasi menjadi berubah, karena dijelaskan oleh P. Yoseph, bahwa para suster ini akan melanjutkan perjalanan ke Lahurus. Satu kecemasan dan kendala yang dihadapi oleh Pastor dan umat adalah, bagaimana dengan transportasi ke Lahurus. Jalan raya, dan mobil belum ada. Naik kuda?Suster-suster tidak berani.Jalan kaki?Itu tidak mungkin. Pastor dan para umat pun berunding untuk mencari solusi bagaimana caranya agar para suster tiba di Lahurus dengan selamat. Didorong oleh rasa tanggungjawab dan di rahmati oleh Tuhan, disepakati bersama bahwa para suster akan diusung oleh masyarakat. Empat kursi diikat pada bambu yang kuat, lalu suster-suster dipersilahkan duduk di atasnya. Dipilih kira-kira 40 orang laki-laki yang kuat guna mengusung keempat suster itu menuju Lahurus. Umat yang lainnya memikul tas para suster. Bisa dibayangkan ini sebuah perarakan yang besar tentunya. Terlihat ketika usungannya miring ke kiri, mereka pun miring kearah yang sama, demikian pula sebaliknya. Ketika ada pergantian pengusung, para suster turun dan berdiri, tapi tak bisa bercakap-cakap dengan para pengusung karena masalah bahasa.
Tentu kita akan bertanya, mengapa Lahurus yang dipilih oleh para suster misionaris untuk berkarya disana? Perutusan para suster dari Flores ke Lahurus pada tahun 1921, yang adalah merupakan ujung dari suatu proses yang panjang, telah ditelusuri sejak tahun 1913. Lahurus adalah sebuah desa di pedalaman daerah Belu pulau Timor, yang pada kesempatan pertama abad ke -20 merupakan suatu daerah pusat kegiatan misi Katholik dibawah Ordo Jesuit.
- Kutipan salah satu tulisan Sr. Blanda Dorr, S.Sp.S
“Dari kejauhan kami sudah disambut oleh sejumlah anak laki-laki dan perempuan dengan ucapan selamat datang dan salam suster. Selama seperempat jam perjalanan dari pantai ke lokasi misi, mereka menari dalam bentuk lingkaran di depan kami, mereka berseru dengan kegembiraan: “Hipp, hopp, hura!!!… Suster baru sudah datang,..”! Ketika itu kami belum mengetahui keadaan yang akan kami alami. Perjalanan memakan waktu tujuh jam.Karena jalan jelek, maka orang tidak membiarkan kami untuk berjalan atau berkuda.Mereka membawa sebuah tandu.Selanjutnya kami mengikuti rombongan itu. P. Schmitz menjadi pembuka jalan, diikuti oleh permaisuri Raja yang berkuda disusul tandu-tandu. Di belakang kami barisan kuda-kuda yang membawa barang-barang kami.Kami harus melalui jalan setapak yang sulit dilalui. Di tepi jalan dan pondok-pondok nampak penduduk pribumi, mereka ingin melihat dan memberi salam kepada kami. Akhirnya jam tujuh malam, tampaklah Lahurus didepan kami. Semua mulai menari menurut adatnya. Di tengah letusan meriam kecil kami melewati jalan-jalan yang berhiaskan daun palma dan bendera-bendera kecil. Seorang gadis kecil yang berkulit kecoklatan memberi salam kepada kami dalam bentuk tarian, lagu dan sanjak. Tempat pertama yang kami masuki adalah sebuah gereja yang kecil namun semarak, disana lagu Tedeum dinyanyikan dengan khidmat, untuk mengungkap rasa terimakasih atas keselamatan perjalanan kami,…”
- Karya Misionaris Perdana di Lahurus
Sejarah berdirinya S.Sp.S seri pertama, telah digambarkan tentang kedatangan para suster misionaris perdana, dan pengalaman mereka ketika menginjakkan kaki di bumi Timor secara khusus di Lahurus.Pada waktu itu Lahurus sudah ada SD Putra, sedangkan wanita belum bersekolah karena memang wanita belum diperbolehkan untuk sekolah.Sekolah Dasar hanya 3 tahun.
Ke-empat suster misionaris pertama yakni: Sr. Gonzagina Van Lunssen, Sr. Jolenta Miltenburg, Sr. Blanda Dorr, dan Sr. Antonie de Leeuw, setelah dihantar oleh umat dari Atapupu menuju Lahurus lewat jalan darat, memulai tugas dan karyanya, suster–suster mulai dengan pendidikan perempuan dengan cara:
- Mengajar dan mendidik kaum putri di Sekolah Dasar
- Anak wanita yang sudah lebih besar, diterima dan dimasukan di asrama untuk diajarkan pekerjaan dan Ketrampilan Rumah Tangga (KRT)
- Suster-suster juga memberikan pelajaran Agama kepada ibu-ibu dan para pemudi di kampung-kampung.
Sr. Gonzagina mengajar dan mendidik anak-anak Sekolah Dasar kelas I dan III.Suster mulai belajar bahasa daerah dengan berdoa bersama, mengajar Agama kepada ibu-ibu dan pemudi-pemudi. Dua belas tahun lamanya para suster berada di daerah gunung Lakaan jauh dari keramaian. Muder Regional dari Lela-Flores kunjung para suster setiap dua sampai tiga tahun selama dua minggu.
- Perpindahan dan pergantian anggota komunitas
Pada tahun 1922, datang lagi seorang suster misionaris ke Lahurus yakni Sr. Antonie,S.Sp.S. Dengan demikian anggota komunitas susteran S.Sp.S Lahurus berjumlah 5 suster. Waktu terus berputar, dan para misionaris tetap berkarya.Semakin banyak para remaja putri mendaftarkan diri, untuk dididik dan dibimbing para suster menjadi perempuan yang terampil.Selain terampil dalam pekerjaan rumah tangga, mereka mendapat pengetahuan tentang agama dan pengetahuan lainnya.Karya misionaris berkembang baik di Lahurus.Karena itu semakin banyak suster-suster misionaris datang ke Timor.Pada tahun 1927 Sr. Clotilde menggantikan Sr. Gonzagina sebagai guru Sekolah Dasar.Sementara itu Sr. Gonzagina pindah ke Larantuka-Flores. Pada tanggal 08 Desember 1934 oleh Uskup Hendrikus Leven, dibuka satu serikat bernama Kongregasi St. Maria, yang dipimpin oleh Sr. Clotilde, sementara itu tahun 1935 didirikan serikat St. Theresia untuk kaum wanita tamatan Sekolah Dasar. Bisa dimengerti jika para Uskup dan para suster membentuk serikat-serikat ini mengingat banyaknya kaum perempuan yang mulai mengenal Tuhan lewat gereja dan pelayanan para misionaris. September 1939, datanglah Sr. Aretia, S.Sp.S ke Lahurus.Suster bertugas di bilik basuh, dan mengajar tenun kepada anak-anak Kursus Rumah Tangga, dan membangun bilik jahit.Bulan Juli tahun 1940 datanglah Sr. Agnes,S.Sp.S membantu di bilik menjahit dan Sr. Aretia kembali ke Atambua.Demikian juga Sr. Gondulpha pindah ke Atambua mengajar di Sekolah Dasar Puteri. Sebagai pengganti datanglah guru Dominika Skera sebagai guru Sekolah Dasar membantu Sr. Clotilde. Pada bulan Mei 1941, Sr. Clotilde, S.Sp.S jatuh sakit. Dua minggu kemudian bukannya bertambah sehat malah kesehatannya semakin menurun. Suster menerima sakramen minyak suci.Pada tanggal 04 Juni 1941, umat Lahurus sangat berdukacita.Sr. Clotilde dipanggil menghadap Bapa di Surga.Ini merupakan khabar kedukaan bagi seluruh paroki Lahurus.Suster sangat dicintai oleh anak-anak dan umat serani karena kebaikan hatinya.Bapak Uskup Pessers berkenan mempersembahkan misa Requem di gereja Lahurus.Umat berbondong-bondong datang mendoakan arwah suster.Para guru, anak-anak sekolah, anak KRT tak pernah beranjak dari sisi peti jenasah.Sangat dimengerti karena Sr. Clotilde telah mendampingi dan mengajar mereka selama 14 Tahun.Suster sebagai misionaris pertama yang menutup usianya di Timor tercinta dan dikebumikan di pekuburan Biara Lahurus. Sebagai pengganti, datanglah Sr. Dagobertia, S.Sp.S yang akan mengajar di Sekolah Dasar Putri Lahurus.
- Misionaris S.Sp.S, dan Masa Pendudukkan Nipon – Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 -1945, komunitas Atambua telah dibuka yakni pada tanggal 22 Mei 1933. Pada kesempatan ini, kami belum menulis karena akan ditulis pada tema tersendiri. Masa pendudukan Jepang diuraikan pada kesempatan ini, karena pada masa ini, ada pengalaman yang menarik dialami para suster misionaris kita juga berpengaruh terhadap karya para suster di Lahurus.
Tanggal 10 Mei 1942, tepatnya hari Minggu, datanglah beberapa orang pemuda dari Atambua membawa berita bahwa Pater Nelissen, SVD dan kelima suster dipanggil oleh tentara Nipon ke Atambua. Pater dan para suster pun segera berkemas-kemas. Beberapa helai pakaian dibungkus dan dimasukkan kedalam tas. Anak-anak asrama disuruh pulang ke rumah masing-masing, Gereja, Pastoran dikunci. Pater dan para suster berangkatbersama utusan pemuda dari Atambua, dengan menunggang kuda. Umat serani menghantar Pater dan para suster hingga sungai Baukama.Suasana saat itu betul dicekam oleh perasaan takut. Umat menangis dan berdukacita. Suatu perpisahan yang tak menentu kapan akan bertemu kembali.
Tanggal 20 Mei 1942, Sr. Amonia, S.Sp.S, bersama Sr. Agnes, S.Sp.S (anggota komunitas Atambua saat itu), diijinkan ke Lahurus untuk mengambil makanan. Di Lahurus kedua suster ini berkesempatan untuk menyelamatkan barang-barang gereja dan Kapela yang ada di rumah Biara Lahurus dengan memberi kepada Bapak Raja Dominikus Kaufaru dan anaknya untuk disimpan di dalam rumahnya.Untunglah ketika para suster memeriksa barang-barang dan alat rumah tangga yang ditinggalkan para suster di rumah biara, semuanya luput dari pencurian dan masih utuh.Selama berada di Lahurus, para suster dibantu oleh umat yang mengetahui kehadiran para suster dan murid-murid mantan asuhan KRT.Selain barang gereja dan kapela yang diberikan kepada Bapak Raja, pakaian, kain-kain, mesin jahit dibagikan kepada murid-murid KRT untuk disimpan.Sementara alat-alat rumah tangga lainnya tetap disimpan di Biara.Selama dua Minggu kedua suster berada di Lahurus untuk mengamankan barang-barang.Selanjutnya mereka harus segera kembali ke Atambua.Kembali perpisahan terjadi antara umat, murid KRT dan para suster.Umat menangis tak mau melepaskan para suster.Mengingat situasi yang tidak memungkinkan akhirnya umat melepaskan kedua suster pergi dihantar oleh beberapa pemuda dan orang dewasa ke Atambua. Sepeninggal suster, baik yang baru dua minggu tiba, maupun Pater, para suster yang yang telah lama berkarya di Lahurus, bapak Raja Dominikus Kaufaru dan anaknya serta guru Tinangun beserta Nyora Maria Kolo, Juliana Tenu, Martha Rika, bekerja sebagai pengganti Pastor dan suster selama masa perang dunia bulan Mei 1942-Nopember 1945.
Setiap hari Minggu, umat berkumpul dalam gereja, untuk berdoa, mendengar Kitab Suci, yang diberi oleh bapak Raja dan guru-guru. Pastoran, gereja dan susteran tetap ditutup dan dikunci, meskipun tentara Nipon mendesak untuk masuk kedalamnya. Bapak Raja Dominikus dengan gigih dan berani, mempertahankan keutuhan bangunan gereja, pastoran dan susteran, dan tetap mempertahankan kesakralannya. Sampai November 1945, umat serani Lahurus terpisah dari Pastor dan susternya. Pada tanggal 22 November 1945 para suster misionaris kembali dari pertahanannya. Selama ini para suster berada di Sulawesi.Mereka kembali ke Timor, Atambua, Lahurus. Mereka itu antara lain Pater Nelissen SVD, Sr. Amonia, S.Sp.S; Sr. Antonia, S.Sp.S; Sr.Bernolda,S.Sp.S; Sr. Dagobertia, S.Sp.S dan Sr. Agnes, S.Sp.S. Gereja dihias dengan bunga-bunga yang indah. Umat sudah menunggu kedatangan para misionarisnya dengan penjemputan di Mota Moru-Baukama.Betapa senang pertemuan saat itu. Hari Minggu diadakan misa syukur, gereja dipenuhi dengan umat Lahurus.Lagu Tedeum menggema membahana dalam gereja. Yah seorang gembala, dan misionarisnya telah bertemu domba-dombanya. Setiap hari umat berdatangan ke Pastoran dan Susteran membawa pulang barang-barang yang dititipkan ketika akan berangkat.
Sejak berdirinya rumah Biara Lahurus hingga tahun 1950 an satu-satunya sarana transportasi yang paling laris ialah kuda. Jika tak ada kuda, para misionaris harus berjalan kaki pergi pulang Lahurus- Atambua.Keadaan seperti ini tidak mematahkan semangat misinya, mereka tetap gembira melaksanakan tugas perutusannya. Karya kerasulan para suster di Lahurus, selain mengajar di SD, kursus bagi anak-anak puteri yang disebut Kursus Rumah Tangga(KRT), Pastoral Keluarga, juga mereka mendirikan Serikat Santa Theresia untuk anak-wanita yang tamat Sekolah Dasar, dan Serikat santa Ana untuk para ibu. Untuk mendapat murid sekolah, para suster pergi ke kampung-kampung sekitar bahkan sampai di Nualain.Karya kerasulan kesehatan baru mulai dirintis pada waktu Sr. Hildis tiba dari Cina tanggal 22 September 1952, dan suster ditempatkan di Lahurus.