Forum Peduli Perempuan Dan Anak (FPPA) Provinsi Ssps Timor Selenggarakan Workshop Human Trafficking

Atambua 16 September  2023

Perdagangan orang (human trafficking) merupakan modus kejahatan perbudakan modern dalam bentuk transaksi jual beli terhadap orang yang dalam perkembangannya terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional yang pada umumnya dilakukan secara tertutup dan bergerak diluar hukum

Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan transnasional. Umumnya kejahatan tersebut berupa penyelundupan manusia menggunakan kekerasan, penipuan paksaan bahkan paksaan dengan mengendalikan korban untuk tujuan seks atau meminta tenaga secara ilegal. Modus  perdagangan orang zaman ini menurut Harkristuti Harkrinowo yang dikutip dalam oleh Novianti ( Jurnal 2014) adalah:

  1. Pengiriman TKI ke luar negeri tanpa adanya dokumen resmi. Sebagian bahkan memalsukan dokumen resmi dengan dalih kegiatan legal, misalnya misi budaya.
  2. Penempatan kerja di dalam negeri untuk dieksploitasi secara seksual.
  3. Penyelenggaraan perkawinan berbatas waktu tertentu sebagai cara legalisasi hubungan seksual dengan kompensasi finansial, contohnya berupa kawin kontrak antara pekerja asing dengan perempuan Indonesia.
  4. Penyelenggaraan perkawinan antarnegara melalui pesanan, yang mana pihak perempuan tidak mengetahui kondisi dari calon suaminya.
  5. Perekrutan anak-anak menjadi pekerja dengan upah yang minim dan kondisi kerja yang mengancam kesehatan, mental, dan moral.
  6. Pengangkatan bayi tanpa proses yang benar.

Berbicara perihal kejahatan–kejahatan tersebut, propinsi  Nusa Tenggara Timur juga sudah termasuk salah satu wilayah yang darurat human trafficking, oleh karena itu pada tanggal 15-16 September 2023 yang lalu, Forum Peduli Perempuan dan Anak (FPPA) Provinsi SSpS Timor mengadakan workshop dengan tema “ Upaya Memutus Mata Rantai Perdagangan Manusia di NTT Khusus di Rai Belu, “ dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Ibu Suharti dari Yayasan Rifka Anissa Sakina Jogjakarta dan Saudari Yeni Tjung Pegiat Masalah Kemanusiaan dari Jakarta. Kegitan ini diikuti 35 peserta berbagai kelompok masyarakat diantaranya di Kabupaten Belu; tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, lembaga/instansi pemerintah yang terkait, tokoh-tokoh agama, dan 10 suster SSpS Timor dari berbagai unit karya.

Kegiatan ini di buka secara resmi oleh Ibu Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ibu dr. Jois Manek. Tujuan dari Workshop ini, menurut Ketua FPPA Provinsi SSpS Timor, Sr Sesilia Ketut, SSpS adalah bagaimana semua pihak dan masyarakat mengerti dan memahami secara baik apa itu perdagangan manusia (human trafficking)  dan bersama-sama berusaha mencari solusi terbaik untuk memutus mata rantai perdagangan manusia secara khusus di wilayah Kabupaten Belu.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam proses dan dinamika yang kreatif, ada diskusi dan sharing pengalaman. Dari hasil diskusi dan sharing kelompok dari berbagai masyarakat dan tokoh-tokoh baik masyarakat, agama dan pemerintah mengenai masalah human trafficking dan issue berkaitan dengan persoalan perdagangan manusia ditemukan bahwa faktor utama penyebab perdagangan manusia (human trafficking) adalah faktor kemiskinan, minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan kerja serta minimnya keterlibatan pemerintah untuk dapat memberantas aksi kejahatan ini.

Penyebab kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Belu  pesta-pesta/urusan adat (pernikahan, kematian, belis dll). Orang harus meminjam sejumlah yang besar jumlahnya untuk urusan adat dll. Banyak orang memilih untuk merantau ke Malaysia, Kalimantan dan Irian mengais rejeki untuk melunasi untuk dan untuk  ingin merubah nasib.

Selain yang disebutkan diatas, krisis iman, gaya hidup konsumtif juga menjadi faktor pendukung terjadinya human trafficking.

Sharing pengalaman dari Sr. Sesilia Ketut, Ketua FPPA Provinsi SSpS Timor dan  Ibu Suharti dari Yayasan Rifka Anissa Sakina Jogjakarta dari Forum Perlindungan Perempuan dan Anak mengatakan, ” ada banyak dampak dan pengaruh  baik positif mau pun negatif dari merantau atau menjadi TKI: yang positif adalah bahwa ada perbaikan taraf hidup atau perekonomian, ada pengalaman kerja baru, pola pikir yang baru. Ada TKW yang mengalami nasib yang baik; mendapat majikan yang baik, mendapat upah yang adil,  tetapi  ada juga banyak mengalami tindakan kekerasan dan ketidakadilan; mereka diberi upah yang sangat rendah bahkan tidak dibayar, ada juga pelecehan seksual bagi kaum perempuan, dijadikan pekerja seks komersial, kawin kontrak, ada yang mengalami kekerasan fisik (disekap dan disiksa) bahkan sampai dibunuh dengan cara dimutilasi.” Dampak lain dari keluarga-keluarga yang merantau adalah: penelantaran; anak-anak dititipkan pada keluarga (om-tante atau kakek-nenek), atau dibiarkan tinggal sendiri di kampung halaman. Mereka kurang dan bahkan tidak merasakan kasih sayang dari orangtua kandung.” Menurut data, ada 900 kasus perdagangan manusia per-tahun, dan korban dari NTT yang meninggal hingga agustus ini mencapai angka tertingggi yakni 184 kasus dan ini terbanyak dari Kabupaten TTS dan Belu. Dengan angka ini sebenarnya NTT termasuk darurat human trafficking,” tandas Ibu Suharti.

Para peserta dalam proses diskusi dan sharing juga menemukan upaya-upaya untuk memberantas dan memutus mata rantai perdagangan manusia diantaranya: 1. bekerjasama membangun jejaring kemitraan dengan pemerintah, dan instansi terkait untuk mensosialisasikan masalah perdagangan manusia kepada lapisan masyarakat baik ditingkat desa, kelurahan, dan kabupaten  dan lembaga-lembaga baik pendidikan dan lainnya. 2. membuat dan mengeluarkan aturan dan kebijakan -kebijakan yang menjadi pola hidup untuk meminimalisir pengeluaran biaya-biaya pesta/urusan adat.3. Meningkatkan pembinaan iman  bagi masyarakat pada umumnya dan anak-anak remaja khususnya. 4. Harus ada perhatian, kontrol dan pengawasan  dari pemerintah, lembaga-lembaga terkait agar para pencari kerja baik di dalam mau pun luar negeri harus memiliki dokumen resmi. Mereka juga harus dibekali pengetahuan dan keterampilan (bahasa dan pekerjaan rumah tangga), harus ada training bagi mereka, sehingga mereka diberangkatkan melalui prosedur yang resmi.

Semua peserta yang terlibat dalam kegiatan ini sepakat untuk bersama-sama dengan segala cara dan upaya memberantas aktivitas perdagangan manusia yang terselubung di wilayah Kabupaten Belu dan wilayah sekitarnya.

Berita/Laporan: Sr. Marselina Muti, SSpS (Yunior)

Foto: Sr. Innes Maximiliani, SSpS

Editor : Sr. Innes Maximiliani, SSpS
Komkom SSpS Timor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *